January 31, 2012

Love Your Style


Sebab itu aku menasihatkan kamu: turutilah teladanku!
(1 Korintus 4:16)

Ikutilah teladanku, dibilang. Bukan ikutilah gayaku. Kita tidak mesti mengikuti gaya orang-orang walaupun boleh-boleh saja mengagumi style mereka. Kalau kita introvert, tidak kudu serta-merta menjiplak gaya orang-orang extrovert, atau sebaliknya. Jika kita melankolis (mellow), tidak perlu selalu menyerupai orang-orang yang bertipe sanguine atau bicaranya "serbabisa". Tetapi, mungkin memang kita juga mesti bisa ‘bersikap’ di tengah masyarakat. Tetapi lagi, kita sah-sah saja meniru, mengikuti kebaikan orang-orang.

January 20, 2012

Dengan cerita singkat

Truman Capote terinspirasi dari artikel singkat berikut ini sebelum menulis bukunya, In Cold Blood.

Wealthy Farmer, 3 Of Family Slain

Holcomb, Kan., Nov. 15 (UPI)--A wealthy wheat farmer, his wife and their two young children were found shot to death today in their home. They had been killed by shotgun blasts at close range after being bound and gagged.

The father, 48-year-old Herbert W. Clutter, was found in the basement with his son, Kenyon, 15. His wife Bonnie, 45, and a daughter, Nancy, 16, were in their beds.

There were no signs of a struggle, and nothing had been stolen. The telephone lines had been cut.

"This is apparently the case of a psychopathic killer," Sheriff Earl Robinson said.

Mr. Clutter was founder of the Kansas Wheat Growers Association. In 1954, President Eisenhower appointed him to the Federal Farm Credit Board, but he never lived in Washington.

The board represents the twelve farm credit districts in the country. Mr. Clutter served from December, 1953, until April, 1957. He declined a reappointment.

He was also a local member of the Agriculture Department's Price Stabilization Board and was active with the Great Plains Wheat Growers Association.

The Clutter farm and ranch cover almost 1,000 acres in one of the richest wheat areas.

Mr. Clutter, his wife and daughter were clad in pajamas. The boy was wearing blue jeans and a T-shirt.

The bodies were discovered by two of Nancy's classmates, Susan Kidwell and Nancy Ewalt.

Sheriff Robinson said the last reported communication with Mr. Clutter took place last night about 9:30 P.M., when the victim called Gerald Van Vleet, his business partner, who lives near by. Mr. Van Vleet said the conversation had concerned the farm and ranch.

Two daughters were away. They are Beverly, a student at Kansas University, and Mrs. Donald G. Jarchow of Mount Carroll, Ill.

Artikel tersebut terambil dari arsip lama koran The New York Times, tertanggal 16 November 1959. Bisa dilihat di situsnya, sih, tetapi mesti sign up dulu.

Truman Capote mendapat bantuan dari Harper Lee, penulis yang juga terkenal melalui karyanya, To Kill A Mockingbird, untuk mengadakan penelitian guna menunjang penulisan buku Truman Capote tersebut, In Cold Blood.

Nah, kalau Truman Capote saja bisa terinspirasi dari cerita, artikel singkat di atas pada tahun segitu, tentu pintu kemungkinan terbuka bagi kita untuk melakukan hal yang sama, menginspirasi orang-orang untuk mengerjakan hal-hal besar bahkan mengubahkan, dari cerita-cerita kita meskipun singkat adanya. 

January 18, 2012

Spider Fingers


Saya baru mendapat tahu (mengetahui, ya) tentang istilah spider fingers. Ada beberapa arti yang mengacu dari istilah tersebut, yaitu 1) untuk menyatakan suatu kondisi jari-jari yang panjang dan ramping, 2) untuk menyatakan suatu keterampilan dalam panjat tebing, dan 3) untuk menyatakan kecepatan jemari sewaktu memainkan tuts-tuts keyboard atau piano.

Saya tertarik lebih pada artian yang ketiga, yaitu jari-jari tangan ke mana-mana saat ahli memainkan tuts-tuts keyboard tersebut. Lalu, saya lebih tertarik lagi untuk bertanya, mungkinkah kita boleh menggunakan istilah spider fingers tersebut dalam penulisan? Menulis (mengetik) secara cepat dengan tuts-tuts keyboard komputer kita.

Conscientia Mille Testes


Sayangnya, kebanyakan sesuatu yang tertutup itu selalu kurang bagus, atau kurang diberi perhatian yang optimal. Barangkali seperti halnya tadi malam, sewaktu saya memesan fuyung hai di suatu rumah makan. Saya pesan untuk dibungkus dan dibawa pulang untuk dimakan di rumah. Pesanan selesai, saya bawa pulang bungkusan.

Sesampainya di rumah, Iva istri saya membuka bungkusan tersebut dan seingat saya berkomentar, “Duapuluh tujuh ribu seperti ini. Lihat deh, Bang. Lebih baik beli bakwan.” Saya coba menelongok ke arah fuyung hai pesanan kami, setuju dengan pendapatnya Iva, lalu berkata, “Iya. Lebih baik beli bakwan tujuh ribu, lalu makan pakai nasi.” Mengapa seperti itu? Karena mirip dua bakwan besar yang digoreng, atau setidaknya, kami bisa membuat sendiri dari dua telur dadar yang mungkin lebih nikmat.

Serupa dengan itu, pengalaman yang lain, juga tentang pesan makan bungkus adalah ketika saya membeli, seingat saya, nasi pecel ayam goreng. Singkat cerita, pesanan selesai, lalu saya bawa pulang. Setelah saya buka bungkusannya, ternyata ayam yang dipilih oleh penjualnya begitu kecil—lain dari biasanya yang lumayan besar kalau makan di warung pinggir jalan itu.

Sepertinya kepercayaan kita, saya, dilanggar oleh para penjual yang kemungkinan hanya mencari keuntungan itu, bukannya memberikan plus value atau nilai lebih. Supaya sajian yang ditampilkan di luar (saat makan di tempat) sesuai dengan pesanan yang di dalam bungkusan (untuk dimakan di rumah).

Sebab itu, kadang saya waspada apabila ingin memilih untuk memesan makanan dengan bungkusan. Jadi, sebaiknya saat kita mengerjakan sesuatu yang sekiranya tak terlihat oleh orang lain, kita lakukan yang terbaik. Saat bahkan dari dalam diri kita, hati kita sendiri, ingin memberikan yang biasa-biasa saja, turuti jangan, ya. Sebab kalau tidak, orang banyak akan kecewa, saya juga, Anda pun akan merasakannya.

January 16, 2012

Where does our self-worth come from?

Does it come from a necktie that we, as gentlemen, use?
Does it only because of working at a certain place that--whether or not--we are proud of?
Does it, even, come from self-worth itself?

An additional 'g'


There was an additional, extra 'g'. I didn’t see it at first, but somehow it was there after I finished editing a writing piece. It should be, in Bahasa Indonesia, layanan (a service), but turned out to be layangan (a kite)! Small difference, little mistake, made major difference! Fatal. 

We tend to neglect words that we usually, normally read or seeI’m speaking about Bahasa Indonesia, or other languages, too. We don’t know what we’ve got until we lose it.

The chief enemy of creativity is ‘good’ sense.
~ Pablo Picasso