June 5, 2011

5 Juni 2011

Ini bukan seperti dalam film. Tetapi, gambarannya masih terasa jelas di ingatan. Dan saya mungkin akan merasa bersalah bila tidak menuliskannya.

Pada pagi, hari ini, sekitar pukul 9.30, saat saya hendak pulang menuju ke rumah setelah membeli buku di pasar kaget Juanda, saya melihat ada sepeda motor biru (mungkin sejenis Mi*) tergeletak di sebelah kiri, dekat pembatas, jalur cepat jalan Margonda, Depok. Hampir di dekat terminal.

Saya kira hanya sepeda motor yang tergeletak. Spion sepertinya terlepas. Dan orang-orang berlalu-lalang, tidak ada yang berhenti. Ternyata, setelah saya hampir mendekati dan melewati motor ringsek itu, ada seseorang (bapak-bapak) bertopi, mungkin warna merah putih, menyeberang dari arah berlawanan menuju ke sepeda motor itu.

Ada *maaf* otak terburai. Darah merah menempel di permukaan tanah jalan raya.

Beberapa pengendara sepeda motor berhenti, ingin mengetahui apa yang telah dan tengah terjadi. Saya pun berhenti. Tetapi, kami semua berhenti agak jauh dari lokasi sepeda motor terjatuh. Mungkin karena kami takut dituduh sebagai pelaku yang menabrak atau menyebabkan korban itu jatuh, dan mungkin meninggal... Sepertinya--saya tidak berani melihat langsung--korbannya adalah seorang pemuda. Mungkin karena ia mengenakan helm yang tidak kuat sehingga *maaf* kepalanya hancur...

Bapak-bapak tua tadi berseru sambil mengarahkan telunjuknya ke arah depan di kejauhan, (saya harus menyensor) "Mobil P*rt*m*n*! Yang nabrak mobil P*rt*m*n*!" Pengemudi mobil yang baru datang lewat jalur lambat ikut berseru, memerintahkan, "Kejar!" Lalu, seorang pemuda pengendara motor, berlari ke motornya sendiri dan memburu mobil P*rt*m*n* yang memang sepertinya masih kelihatan agak jauh di depan, tetapi tidak mungkin tak terkejar. Tetapi, mungkin kami pun sebenarnya takut mengejar mobil P*rt*m*n* itu. Tidak mau ambil urusan, pusing, atau kepedulian. Apakah kepedulian kami cukup?

Sementara, jiwa anak muda itu melayang.

Saya terenyuh--jika memang ini kata yang tepat untuk menggambarkan keadaan batin yang terhenyak (mual seperti campuran mabuk darat, mabuk laut, dan mabuk udara)--dalam hati, menangis dalam hati. Bahkan saya masih dapat merasakannya sekarang saat menuliskan ini.

Apa yang akan dilakukan oleh ibu anak muda itu, responsnya? Ke mana anak muda itu sebenarnya sebelumnya ingin pergi? Apakah hendak menemui teman-teman, atau apakah hendak pulang? Apa yang membuat anak muda itu pantas mendapatkan kecelakaan semacam itu? Pertanyaan-pertanyaan semacam inilah, dan beberapa pertanyaan lainnya, yang tebersit di dalam pikiran.

Angka penanda pada lampu merah, yang tidak jauh dari lokasi kejadian, saya lupa menunjukkan angka berapa, tapi berjalan mundur mungkin dari 14... lalu 4... hingga 1. Saya lupa karena masih terbayang tragisnya kejadian itu. Saya terhenti di situ. Sedangkan, untungnya, pemuda pengejar tadi telah jauh ke depan, mengejar mobil P*rt*m*n* yang masih kelihatan.

Di lampu merah itu, saya hanya bisa berdoa kepada Tuhan, Tuhan Yesus, supaya jiwanya sampai kepada-Nya. Agar Ia menerimanya. Saya pun hanya bisa speaking in tongue, menguatkan diri saya. Ini bukanlah hal atau kejadian yang sering saya lihat pada kehidupan nyata. Ini adalah pertama atau kedua kalinya. Tetapi, mungkin saya--dan kita--perlu hal itu. Mengingatkan kita akan hari kematian. Betapa singkatnya hidup. Kita adalah tanah, terbuat dari debu tanah. Dibandingkan dengan galaksi dan alam semesta, kita tidak ada apa-apanya, betapa kecilnya kita. Saya merasa korban tadi adalah teman saya, saudara saya. Saya merasa bertanggung jawab. Setiap tatapan orang lain yang menatap mata saya terasa seperti tatapan mata Tuhan.

Saya merasa mendapat pertanyaan mendalam dalam hati saya, "Kapan kamu akan menjadi misionaris? Kapan kamu akan benar-benar peduli terhadap (jiwa-jiwa) orang-orang, yang mungkin terhilang? Kapan kamu akan benar-benar melakukan sesuatu yang baik?"

Sesaat saya akan melintasi dan sampai di Polres Depok yang ada di depan kantor Walikota, mobil tangki minyak P*rt*m*n* merah putih itu berhenti--atau lebih tepatnya, terhentikan. Saya melihat pemuda pemburu tadi sepertinya telah berhasil mencegat supir mobil P*rt*m*n*, dan paling aktif menjelaskan tragedi anak muda yang daging-daging *maaf* otaknya yang berharga sekali berceceran. Orang-orang pun berkerumun memastikan kepada seorang polisi bahwa benar ada korban kecelakaan, tapi pelaku penabraknya lari, kabur. Supir mobil truk P*rt*m*n* dan rekannya tak berkutik.

Saya, kami, bersyukur pelakunya sudah ditangkap dan akan ditahan. Dan semoga pihak yang bertanggung jawab akan memberikan ganti rugi--jika ini memang frasa yang tepat--kepada keluarga sang korban.

Akhirnya, saya--kami--pun melanjutkan perjalanan, kali ini mungkin dengan lebih hati-hati. Ditambah mungkin perasaan mual karena terenyuh tadi.

Setelah sampai di jalan Merdeka, saya masih memikirkan anak muda tadi, keluarganya, jiwanya. Saya pun, ternyata akhirnya memikirkan pelaku penabrak tadi. Pada satu sisi, dia memang bersalah dan ditangkap. Beruntung tidak diadili oleh massa. Tetapi, pada sisi lain, buah hasilnya saya juga berpikir, Bagaimana dengan keluarga supir itu sendiri? Bagaimana dengan anak atau anak-anaknya? Bagaimana jika dia harus dipenjara dan meninggalkan keluarganya, siapa yang akan menghidupi mereka?

Apakah supir tadi sadar atau tidak menyadari saat menabrak atau memepet, atau melindas pemuda korban tadi...? Ataukah ia memang sengaja tabrak lari? Semoga saksi-saksi mata yang melihat jelas dapat memberikan penjelasan, keterangan, kesaksian yang sebenarnya.

Kedua orang tadi mungkin sama-sama bisa dikatakan sebagai korban. Tetapi, anak muda tadi sebagai yang lebih parah.

Apa yang membuat kedua pribadi, jiwa, tadi layak (mungkin ini bukan kata yang tepat) mengalami kejadian itu...? Saya tidak tahu. Mungkin ada orang yang kembali ke pertanyaan mendasar: Di mana Tuhan saat kejadian itu... (atau sebelumnya)? Saya hanya mengetahui bahwa kita memiliki pilihan dalam hidup, dan semoga kita sebaiknya memilih melakukan hal yang benar. Pikiran pun adalah hasil pilihan. Jika ada orang yang mengatakan bahwa kita boleh-boleh saja berdosa, tetapi berdosa secara mulia, seperti kata Robertson Davies, "Live in the large! Avoid sin if you can, but if you must sin, then sin nobly!" Itu terserah dia. Dan semoga...

Semoga kiranya Tuhan melindungi kita.

Semoga kita mendapatkan kematian yang mulia.

Semoga apa pun yang kita alami, jiwa kita diterima, dipangku oleh-Nya.

Semoga kita sungguh-sungguh peduli.

Semoga kita melakukan sesuatu yang benar.

No comments:

Post a Comment